Karl Marx, Bung Karno dan Hugo Chavez :
Marxisme dan Kebhinekaan Tradisi Revolusioner
Ketika Bung Karno ‘memperkenalkan’
Marhaenisme sebagai ideologi PNI pada tanggal 4 Juli 1927, banyak orang
yang ‘kebingungan’ atau bersikap sinis (kelompok nasionalis-borjuasi)
dan mencibirnya (kelompok Marxist-Leninist).
Dan sebagian besar pengikutnya hanya
sekedar ‘membebek’ secara ‘membabi-buta’ – hanya dengan menghafalkan
definisinya saja, yaitu “Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi’ atau
“Marxisme yang diterapkan dalam situasi dan kondisi Indonesia”. Ini
fakta!
Dan itulah pula yang menjadi materi
setiap kursus kader di GSNI, GMNI, Gerakan Pemuda Marhaenis, dll pada
khususnya dan PNI/Front Marhaenis pada umumnya.
Kemudian -dalam era Pasca Gestok
1965- seorang ‘intelektual’ yang mantan anggota GMNI- malah pernah
menulis bahwa Bung Karno hanya sekedar melakukan ‘copy – paste’ tulisan
Karl Marx dalam mendefiniskan Marhaenisme.
Sekitar 83 tahun setelah lahirnya
Marhaenisme, majalah “Monthly Review” -majalah Sosialis Amerika Serikat
terbitan Juli-Agustus 2010- mengulas tulisan seorang doktor Sosiologi
-lulusan Universitas Sorbonne, Paris, Perancis-, yang berjudul “Latin
America and Twety-First Century Socialism : Inventing to Avoid
Mistakes”.
Inilah sepenggal kutipan dari artikel tersebut.
Pada umum kaum/golongan kiri
terbiasa memahami sosialisme dalam pengertian yang diambil dari
Revolusi Russia. Namun perkembangan terkini di Amerika Latin sungguh
mengejutkan, bahkan membingungkan, karena mencerminkan kondisi
revolusioner dan praktik sosialisme yang berbeda. Bagi mereka yang
masih berorientasi kepada model-model lama, dan hanya melihat satu cara
menuju sosialisme, maka apa yang terjadi di Amerika Latin akan dinilai
bukanlah ‘jalan yang benar’ untuk melaksanakan perubahan menuju
sosialisme. Kemenangan yang telah berhasil mengantarkan
pemerintahan-pemerintahan revolusioner rakyat kepada kekuasaan diraih
melalui pemilihan umum. Bukan perjuangan bersenjata.
Negara dan ekonomi tidaklah dikuasai
secara menyeluruh. Peran instrumen politis-revolusioner (partai)
sangat berbeda dengan cara yang lama. Dan pelaksanaan pembangunan
sosialisme tidak menempuh cara perencanaan yang bersifat terpusat atau
sentralistik -dari atas ke bawah- sebagaimana halnya perencanaan negara
yang bersifat birokratik. Hal yang sangat
mencengangkan,-mungkin-,adalah kenyataan bahwa revolusi tersebut tidak
terlalu banyak diilhami oleh Marxisme, melainkan dibentuk oleh tradisi
revolusioner penduduk asli Amerika Latin beberapa abad yang lampau.
Dalam hal ini, Chavez memainkan peran yang sangat menonjol dalam
mendefinisikan makna dan substansi Revolusi Bolivar.
Simon Bolivar memperoleh pemahaman tentang revolusi dari guru dan pembimbingnya, yaitu Simon Rodriguez dan Ezekiel Zamora yang merupakan pemimpin pemberontakan petani dalam perang pada tahun 1850-an dan 1860-an.
Dalam kritiknya -yang bernada
negatif- terhadap ‘Sang Pembebas’,-yaitu Simon Bolivar-, dan Revolusi
Bolivarian, kaum kiri menggunakan pemikiran Marx (berdasarkan sumber
yang bersifat negatif).
Bagaimana mungkin Bolivarianisme
Amerika Latin yang bersumber dari awal abad ke-19 mengkaitkan dengan
perjuangan kaum Sosialis sekarang. Lalu, bagaimana kaum Marxis
memandang Revolusi Bolivarian?
Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa
munculnya Marxisme dalam abad ke-19 telah memberikan perangkat yang
lengkap untuk melakukan analisis tentang perubahan revolusioner dalam
masyarakat borjuis. Namun demikian, tidak jarang bahwa perangkat
tersebut diubah menjadi ilmu pengetahuan tentang revolusi yang
‘mekanistik ‘atau ‘kaku’ yang diterapkan -secara doktriner- pada
situasi yang sangat berbeda. Yang paling mencolok adalah cara memahami
sejarah secara harafiah-kaku, sehingga perkembangan masyarakat
seolah-olah ditakdirkan harus melalui tahapan dan jalan yang sama atau
seragam. Hal ini mengakibatkan lahirnya Marxisme yang murni-doktriner.
Sangat penting untuk memahami bahwa
Marx sendiri tidak pernah memandang analisisnya yang kritis dengan cara
yang kaku atau doktriner. “Keberhasilan”, menurut Marx, “tidak pernah
diraih dengan menggunakan ‘primbon’ teori historis-filosofis umum, yang
hukum atau dalilnya bersifat supra-historis”. Menghadapi perkembangan
gerakan revolusioner di Russia pada akhir masa hidupnya, Marx tidaklah
berupaya untuk memaksakan ‘model yang siap-pakai’, melainkan berupaya
memahami kondisi historis yang spesifik dan mempelajari bangsa serta
kultur dan bahasa Russia serta kerja warga Russia yang revolusioner.
Alhasil, dia mampu mengintegrasikan
aspek-aspek tradisi revolusioner yang beraneka-ragam ke dalam
analisisnya yang responsif terhadap kondisi dan perjuangan Russia.
Dengan demikian, dia dapat memahami lahirnya/timbulnya berbagai
perbedaan -bahkan yang bersifat diametrik- dengan pengikutnya (kaum
Marxist) di Russia saat itu.
Semua orang memiliki karakteristiknya sendiri dalam tradisi
revolusioner yang beraneka-ragam yang bersumber dari pengalaman masa
lalunya. Hal ini mencerminkan kekhasan sejarah dan budaya, bahkan
mencerminkan pula kegagalan dan persoalannya yang tak terselesaikan.
Tidak disangsikan lagi bahwa beberapa warisan historisnya terhitung
sudah kuno. Namun seringkali, hal tersebut mencerminkan solusi yang
radikal yang ternyata mendahului zamannya.
Sejarah -pada hakekatnya- merupakan
sebuah proses revolusioner. Pada bagian akhir dari “Open Veins of Latin
America”, Eduardo Galeano menyatakan: “semua ingatan bersifat
menentang atau melawan, karena memang berbeda, dengan demikian pula
halnya dengan program (apapun) untuk masa depan”.
Dengan demikian, hubungan (kaitan)
Marxisme dengan tradisi revolusioner yang beraneka-ragam bersifat
kompleks. Sebagaimana dinyatakan oleh Teodor Shanin pada 1983, dalam
“Marx dan Jalan Russia”,-sekitar abad pertama Marxisme-, bahwa bentuk
yang paling murni dari “sosialisme ilmiah”,-yaitu semua yang bersifat
turunan dari induknya-, secara politis terbukti selalu bersifat lemah
dan tidak efektif. Demikian pula halnya dengan bentuk asli ‘jargon’
sosialisme revolusioner yang ternyata juga berakhir dengan kegagalan.
Pengintegrasian Marxisme dengan tradisi politik asli (lokal) ternyata
mampu mendasari semua sikap dan tindakan yang ditumbuhkan secara
internal dan yang secara politis efektif bagi proses transformasi
revolusioner yang dilakukan oleh kaum sosialis. Polarisasi antara
keberhasilan Lenin, Mao, Ho dan yang lain-lain di satu pihak dengan
kegagalan Kautsky, Plekhanov atau Martov atau para Marxists Asia
-antara lain Roy- merupakan bukti adanya kemiripan dengan perbedaan yang
terjadi antar ‘kutub’ atau ‘kelompok’. Meski sulit memahami
keberhasilan politis -dalam makna hanya pemikiran teoritis dari para
penganutnya saja-, Marxisme telah mampu mewujudkan kekuatan yang
spesifik dari upaya penyesuaiannya dengan keaneka-ragaman tradisional.
Dengan kalimat lain dapat dinyatakan
bahwa keberhasilan tradisi revolusioner yang beranekaragam
dicapai/diwujudkan melalui penerapan Marxisme. Penerapan tersebut
merupakan upaya dalam hal menerapkan ilmu pengetahuan sesuai dengan
problematika revolusi – serta problematika modal dan struktur penguasa
dalam masa kini.
Catatan (HES) :
“penerapan Marxisme dalam situasi dan kondisi Indonesia”, kata Bung Karno.
Tanpa harus dikatakan, ternyata
semua ‘keberhasilan’ revolusi yang telah disebutkan oleh Shanin
ternyata menghadapi kesulitan yang serius. Sebagaimana yang dicatat,
tahun 1989 ditandai dengan runtuhnya ‘sosialisme yang nyata-nyata ada’,
yaitu arus besar pertama revolusi sosialis. Revolusi tersebut -yang
di-demontrasikan oleh Uni Soviet- ternyata telah lama ‘takluk’ kepada
berkecamuknya kontradiksi internal dan eksternal -yang sebelum
keruntuhannya, dinilai sebagai model yang dapat diandalkan. Proses
transformasi di Venezuela terjadi setelah terjadinya Caracazo 1989,
oleh karena itu diilhami sepenuhnya oleh tradisi ‘jargon’ revolusioner.
Hal ini membawa pemahaman bahwa sejak pada awalnya Marxisme memang
memainkan peran sekunder.
Hal tersebut merupakan karakteristik
atau keunikan proses revolusioner di Amerika Latin. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Marta Harnecker pada tahun 2003, hal ini dapat disebut
sebagai “a sui generis revolution” atau revolusi yang unik (unique or occupying a class of its own) – bukan jiplakan.
Pemikiran Bung Karno tentang Marhaenisme terbukti benar dan tepat.
Dan orisinil.
John Bellamy Foster on Venezuela:
Marxism and `vernacular revolutionary traditions’
By John Bellamy Foster
http://links.org.au/node/1788
skip to main |
skip to sidebar
Blog ini menampilkan hasil penemuan dan eksperimen kami setelah kami berexplorasi melalui Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo, Garum, Blitar, Keuskupan Surabaya
Jumat, 21 September 2012
Jam Online
Labels
- Ilmu (2)
- Karya Tulis Ilmiah (5)
- Percobaan (2)
Small text message
Selamat datang di Blog KIR-Seminari Garum ini, didalam blog ini tersedia beberapa informasi-informasi yang semoga terpenuhi kebutuhannya bagi yang membaca artikel dalam blog ini.
KIR Seminari
Blog Archive
Mengenai Saya
Chat
Pengikut
Blog Archive
Tim KIR [Anton, Adhi, Adit, Markus, Joko]. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar