Jumat, 21 September 2012

Ideologi Marhainisme Soekarno

Karl Marx, Bung Karno dan Hugo Chavez :
Marxisme dan Kebhinekaan Tradisi Revolusioner


Ketika Bung Karno ‘memperkenalkan’ Marhaenisme sebagai ideologi PNI pada tanggal 4 Juli 1927, banyak orang yang ‘kebingungan’ atau bersikap sinis (kelompok nasionalis-borjuasi) dan mencibirnya (kelompok Marxist-Leninist).

Dan sebagian besar pengikutnya hanya sekedar ‘membebek’ secara ‘membabi-buta’ – hanya dengan menghafalkan definisinya saja, yaitu “Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi’ atau “Marxisme yang diterapkan dalam situasi dan kondisi Indonesia”. Ini fakta!

Dan itulah pula yang menjadi materi setiap kursus kader di GSNI, GMNI, Gerakan Pemuda Marhaenis, dll pada khususnya dan PNI/Front Marhaenis pada umumnya.

Kemudian -dalam era Pasca Gestok 1965- seorang ‘intelektual’ yang mantan anggota GMNI- malah pernah menulis bahwa Bung Karno hanya sekedar melakukan ‘copy – paste’ tulisan Karl  Marx dalam mendefiniskan Marhaenisme.

Sekitar 83 tahun setelah lahirnya Marhaenisme, majalah “Monthly Review” -majalah Sosialis Amerika Serikat terbitan Juli-Agustus 2010- mengulas tulisan seorang doktor Sosiologi -lulusan Universitas Sorbonne, Paris, Perancis-, yang berjudul “Latin America and Twety-First Century Socialism : Inventing to Avoid Mistakes”.

Inilah sepenggal kutipan dari artikel tersebut.

Pada umum kaum/golongan kiri terbiasa memahami sosialisme dalam pengertian yang diambil dari Revolusi Russia. Namun perkembangan terkini di Amerika Latin sungguh mengejutkan, bahkan membingungkan, karena mencerminkan kondisi revolusioner dan praktik sosialisme yang berbeda. Bagi mereka yang masih berorientasi kepada model-model lama, dan hanya melihat satu cara menuju sosialisme, maka apa yang terjadi di Amerika Latin akan dinilai bukanlah ‘jalan yang benar’ untuk melaksanakan perubahan menuju sosialisme. Kemenangan yang telah berhasil mengantarkan pemerintahan-pemerintahan revolusioner rakyat kepada kekuasaan diraih melalui pemilihan umum. Bukan perjuangan bersenjata.

Negara dan ekonomi tidaklah dikuasai secara menyeluruh. Peran instrumen politis-revolusioner (partai) sangat berbeda dengan cara yang lama. Dan pelaksanaan pembangunan sosialisme tidak menempuh cara perencanaan yang bersifat terpusat atau sentralistik -dari atas ke bawah- sebagaimana halnya perencanaan negara yang bersifat birokratik. Hal yang sangat mencengangkan,-mungkin-,adalah kenyataan bahwa revolusi tersebut tidak terlalu banyak diilhami oleh Marxisme, melainkan dibentuk oleh tradisi revolusioner penduduk asli Amerika Latin beberapa abad yang lampau. Dalam hal ini, Chavez memainkan peran yang sangat menonjol dalam mendefinisikan makna dan substansi Revolusi Bolivar.

Simon Bolivar memperoleh pemahaman tentang revolusi dari guru dan pembimbingnya, yaitu Simon Rodriguez dan Ezekiel Zamora yang merupakan pemimpin pemberontakan petani dalam perang pada tahun 1850-an dan 1860-an.

Dalam kritiknya -yang bernada negatif- terhadap ‘Sang Pembebas’,-yaitu Simon Bolivar-, dan Revolusi Bolivarian, kaum kiri menggunakan pemikiran Marx (berdasarkan sumber yang bersifat negatif).

Bagaimana mungkin Bolivarianisme Amerika Latin yang bersumber dari awal abad ke-19 mengkaitkan dengan perjuangan kaum Sosialis sekarang. Lalu, bagaimana kaum Marxis memandang Revolusi Bolivarian?

Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa munculnya Marxisme dalam abad ke-19 telah memberikan perangkat yang lengkap untuk melakukan analisis tentang perubahan revolusioner dalam masyarakat borjuis. Namun demikian, tidak jarang bahwa perangkat tersebut diubah menjadi ilmu pengetahuan tentang revolusi yang ‘mekanistik ‘atau ‘kaku’ yang diterapkan -secara doktriner- pada situasi yang sangat berbeda. Yang paling mencolok adalah cara memahami sejarah secara harafiah-kaku, sehingga perkembangan masyarakat seolah-olah ditakdirkan harus melalui tahapan dan jalan yang sama atau seragam. Hal ini mengakibatkan lahirnya Marxisme yang murni-doktriner.

Sangat penting untuk memahami bahwa Marx sendiri tidak pernah memandang analisisnya yang kritis dengan cara yang kaku atau doktriner. “Keberhasilan”, menurut Marx, “tidak pernah diraih dengan menggunakan ‘primbon’ teori historis-filosofis umum, yang hukum atau dalilnya bersifat supra-historis”. Menghadapi perkembangan gerakan revolusioner di Russia pada akhir masa hidupnya, Marx tidaklah berupaya untuk memaksakan ‘model yang siap-pakai’, melainkan berupaya memahami kondisi historis yang spesifik dan mempelajari bangsa serta  kultur dan bahasa Russia serta kerja warga Russia yang revolusioner.

Alhasil, dia mampu mengintegrasikan aspek-aspek tradisi revolusioner yang beraneka-ragam ke dalam analisisnya yang responsif terhadap kondisi dan perjuangan Russia. Dengan demikian, dia dapat memahami lahirnya/timbulnya  berbagai perbedaan -bahkan yang bersifat diametrik- dengan pengikutnya (kaum Marxist) di Russia saat itu.

Semua orang memiliki karakteristiknya sendiri dalam tradisi revolusioner yang beraneka-ragam yang bersumber dari pengalaman masa lalunya. Hal ini mencerminkan kekhasan sejarah dan budaya, bahkan mencerminkan pula kegagalan dan persoalannya yang tak terselesaikan. Tidak disangsikan lagi bahwa beberapa warisan historisnya terhitung sudah kuno. Namun seringkali, hal tersebut mencerminkan solusi yang radikal yang ternyata mendahului zamannya.

Sejarah -pada hakekatnya- merupakan sebuah proses revolusioner. Pada bagian akhir dari “Open Veins of Latin America”, Eduardo Galeano menyatakan: “semua ingatan bersifat menentang atau melawan, karena memang berbeda, dengan demikian pula halnya dengan program (apapun) untuk masa depan”.

Dengan demikian, hubungan (kaitan) Marxisme dengan tradisi revolusioner yang beraneka-ragam bersifat kompleks. Sebagaimana dinyatakan oleh Teodor Shanin pada 1983, dalam “Marx dan Jalan Russia”,-sekitar abad pertama Marxisme-, bahwa bentuk yang paling murni dari “sosialisme ilmiah”,-yaitu semua yang bersifat turunan dari induknya-, secara politis terbukti selalu bersifat lemah dan tidak efektif. Demikian pula halnya dengan bentuk asli ‘jargon’ sosialisme revolusioner yang ternyata juga berakhir dengan kegagalan. Pengintegrasian Marxisme dengan tradisi politik asli (lokal) ternyata mampu mendasari semua sikap dan tindakan yang ditumbuhkan secara internal dan yang secara politis efektif bagi proses transformasi revolusioner yang dilakukan oleh kaum sosialis. Polarisasi antara keberhasilan Lenin, Mao, Ho dan yang lain-lain di satu pihak dengan kegagalan Kautsky, Plekhanov atau Martov atau para Marxists Asia -antara lain Roy- merupakan bukti adanya kemiripan dengan perbedaan yang terjadi antar ‘kutub’ atau ‘kelompok’. Meski sulit memahami keberhasilan politis -dalam makna hanya pemikiran teoritis dari para penganutnya saja-, Marxisme telah mampu mewujudkan kekuatan yang spesifik dari upaya penyesuaiannya dengan keaneka-ragaman tradisional.

Dengan kalimat lain dapat dinyatakan bahwa keberhasilan tradisi revolusioner yang beranekaragam dicapai/diwujudkan melalui penerapan Marxisme. Penerapan tersebut merupakan upaya dalam hal menerapkan ilmu pengetahuan sesuai dengan problematika revolusi – serta problematika modal dan struktur penguasa dalam masa kini.

Catatan (HES) :
“penerapan Marxisme dalam situasi dan kondisi Indonesia”, kata Bung Karno.


Tanpa harus dikatakan, ternyata semua ‘keberhasilan’ revolusi yang telah disebutkan oleh Shanin ternyata menghadapi kesulitan yang serius. Sebagaimana yang dicatat, tahun 1989 ditandai dengan runtuhnya ‘sosialisme yang nyata-nyata ada’, yaitu arus besar pertama revolusi sosialis. Revolusi tersebut -yang di-demontrasikan oleh Uni Soviet- ternyata telah lama ‘takluk’ kepada berkecamuknya kontradiksi internal dan eksternal -yang sebelum keruntuhannya, dinilai sebagai model yang dapat diandalkan. Proses transformasi di Venezuela terjadi setelah terjadinya Caracazo 1989, oleh karena itu diilhami sepenuhnya oleh tradisi ‘jargon’ revolusioner. Hal ini membawa pemahaman bahwa sejak pada awalnya Marxisme memang memainkan peran sekunder.

Hal tersebut merupakan karakteristik atau keunikan proses revolusioner di Amerika Latin. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Marta Harnecker pada tahun 2003, hal ini dapat disebut sebagai “a sui generis revolution” atau revolusi yang unik (unique or occupying a class of its own) – bukan jiplakan.

Pemikiran Bung Karno tentang Marhaenisme terbukti benar dan tepat.
Dan orisinil.


John Bellamy Foster on Venezuela:
Marxism and `vernacular revolutionary traditions’
By John Bellamy Foster
http://links.org.au/node/1788

0 komentar:

Posting Komentar