Jumat, 21 September 2012

Pidato Peringatan Bung Karno

Oleh: HS Dillon Topik: Tokoh

Jumat, 20 Juli 2012 13:30 WIB 0 Komentar
TO BUILD THE WORLD A NEW




Pada bulan Juni, peringatan Bulan Bung Karno, yang kita saksikan adalah orang-orang yang mencoba menceritakan kembali tentang pandangan dan cita-cita Bung Karno. Akan tetapi mereka sekedar berpura-pura membangun citra bahwa mereka pendukung atau pemegang cita-cita Bung Karno tanpa mampu membawa pada kita roh emansipasi seperti yang dimiliki Bung Karno. Selama kehidupan Bung Karno, beliau menentang imperialism dan kolonialisme. Beliau mengerti  persis bahwa dengan kekayaan dan keberagaman yang dimiliki oleh bangsa ini membuat banyak pihak ingin juga menikmatinya. Maka tidak heran bahwa beliau sangat mengedepankan kemandirian dan kemerdekaan bangsa. Keyakinan beliau akan mampunya Indonesia menjadi bangsa besar di atas kakinya sendiri membuat beliau sangat tegas terhadap segala bentuk penjajahan yang mengesampingkan kedaulatan Indonesia. Sebagai suatu bangsa, Indonesia berhak menentukan nasibnya sendiri tanpa harus dibayang-bayangi oleh kekuatan ekonomi dan politik yang kuat dari bangsa-bangsa yang sudah terlebih dahulu menjadi besar.

Penolakan Bung Karno atas kolonialisme dan imperialisme sangatlah beralasan karena keduanya dapat digunakan bangsa-bangsa lain untuk melegitimasi bahwa kebesaran yang mereka miliki adalah pantas untuk membuat  Indonesia dikendalikan oleh sistem dan aturan mereka demi mendapat segala potensi yang mereka butuhkan. Dalih kolonialisme dan imperialisme berupa terwujudnya kehidupan bangsa yang lebih modern dan demokratis dengan ditunjang infrastruktur dan sistem ekonomi yang membangun pada kenyataannya justru hanya menimbulkan ketergantungan pada negara-negara besar dan dapat berakhir pada penguasaan kekayaan suatu bangsa oleh bangsa yang lebih besar lagi.

                                                          

Keberagaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia baik dari suku, bahasa, kepercayaan, dan budaya  membuat kesetaraan sangatlah penting untuk terus mempersatukan rakyat dalam NKRI. Kesetaraan dalam keberagaman memberikan peluang bagi siapa saja untuk aktif berkontribusi dan berkarya untuk kemajuan dan keberhasilan bangsanya, Indoensia. Hal tersebut yang kemudian oleh Bung Karno diwujudkan dalam dukungannya terhadap Sumpah Pemuda, di mana beliau memupuk solidaritas pemuda-pemuda antar daerah yang berbeda suku dan agama.

Bung Karno dalam usahanya membantu dunia juga membawa nilai-nilai Pancasila ke panggung internasional. Pancasila dalam versi beliau terdiri atas:

1.Ketuhanan yang berbudaya, mengingat toleransi yang dimiliki oleh rakyat di tengah beragamnya keyakinan dan kebudayaan bangsa Indonesia maka poin ini menjadi penting sebagai landasan bersama yang sesuai dengan karakteristik bangsa.

2.Kebangsaan Indonesia atau nasionalisme, keutuhan bangsa hanya akan terpelihara dengan rasa kepemilikan dan kebanggaan sebagai wujud kesadaran terhadap pentingnya pembebasan dalam mempertahankan bangsanya.

3.Internasioalisme, merupakan kesadaran akan pentingnya kesetaraan derajat antar bangsa yang akan hanya tercapai bila masing-masing bangsa memiliki landasan nasionalisme yang kuat.

4.Demokrasi, bukan sekedar mengekor paham demokrasi yang dianut oleh negara-negara adikuasa akan tetapi bentuk demokrasi yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi sosial rakyat Indonesia. Tidak hanya demokrasi secara politik tetapi juga demokrasi secara sosial, sehingga kemudian akan mengantarkan pada keadilan sosial karena semua rakyat memiliki hak yang sama besarnya untuk memiliki kondisi ekonomi yang layak.

5.Keadilan sosial, memberi kesempatan yang adil bagi seluruh rakyat dalam kehidupan bersosial sehingga dapat menuntun mereka pada kesejahteraan hidup yang merata.

Kelima sila tersebut saling mendukung untuk tidak saja mewujudkan cita-cita bangsa tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diadaptasi secara nasional.

Kejuangan dan pengabdian beliau dalam membesarkan Indonesia dan bahkan berkontribusi terhadap kehidupan berbangsa secara internasional melalui pandangan-pandangannya merupakan suatu kepeloporan yang tidak banyak dilakukan  orang. Akan tetapi hingga saat ini cita-cita beliau belum menjadi kenyataan. Kondisi bangsa yang sudah beranjak menjadi bangsa yang perlahan tapi pasti memiskinkan rakyatnya sendiri ini harus segera diubah. Kelembagaan-kelembagaan ekstraktif yang mengeksploitasi potensi bangsa saat ini merupakan bentuk lain dari penjajahan yang harus diperangi.

 Kembali lagi kita dapat merujuk pada mashab Bung Karno tentang kesinambungan antara "menjebol dan membangun dan menjebol lagi untuk kemudian membangun lagi". Proses tersebut diperlukan untuk menuju perbaikan yang menerus terhadap sistem yang ada saat ini sehingga kelembagaan-kelembagaan ekstraktif yang masih banyak keberadaannya saat ini dapat diperbaiki satu per satu demi terciptanya kesejahteraan yang adil dan merata. Kita harus mampu berjuang dengan segala kemampuan yang kita miliki untuk dapat mengeluarkan rakyat dari kemiskinan dengan bermartabat. Kita harus mengerti bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab hanya dapat dicapai apabila kita mampu menjalankan "growth through equity" dan berupaya menjadi bangsa yang cerdas.



Dalam tatanan kehidupan dunia perlu segera dikembangkan new emerging forces untuk menggantikan kekuatan-kakuatan lama yang menganut paham kapitalis dan imperialis sehingga banyak merugikan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Untuk dapat menentukan nasib bangsa yang lebih baik maka perlu dipegang teguh asas TRISAKTI yang dinyatakan oleh Bung Karno. TRISAKTI terdiri atas:

1. berdaulat secara politik, kita harus memiliki kedaulatan secara politik sehingga dapat mempertahankan diri dan memiliki keadilan hak di tingkat internasional, baik sebagai bangsa maupun sebagai rakyat perseorangan.

2.berdikari secara ekonomi, kemandirian ekonomi sangatlah penting sehingga kesejahteraan rakyat dapat dikamin oleh bangsanya tanpa harus bergantung dengan pihak lain.

3. berkepribadian secara sosial budaya, sebagai bangsa kita harus mampu mempertahankan kepribadian yang mencerminkan budaya bangsa sehingga tidak dengan mudah kita "hilang" di tengah pengaruh budaya lain.

Yang terjadi sekarang ini, terjadi di Rio 20+, tiap kelompok di sana mengajukan agenda masing-masing, tiap negara maju didorong oleh paham kapitalisme mencari untung sebesar-besarnya sehingga tercipta new imperialisme. Namun selama 2 dasawarsa ini hal tersebut hanya terkesan berpihak pada negara-negara besar dan tidak memberi kemajuan berarti bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia semakin jauh dari TRISAKTI, bahkan terkesan sangat lemah kedaulatannya di dunia politik internasional. Dengan kemiskinan yang terjadi merata hampir di seluruh daerah di Indonesia, sangat tidak mungkin mengatakan bahwa Indonesia sudah mandiri secara ekonomi. Belum lagi semakin tingginya tingkat impor pangan yang dilakukan oleh Indonesia menunjukkan bahwa ketergantungan tehadap negara lain masih sangatlah besar. Di sisi lain, kondisi tersebut justru semakin menggambarkan bahwa rakyat kecil semakin terhimpit oleh ketidakberpihakan unsur-unsur negara. Kepribadian bangsa dengan Pancasila sebagai landasannya sudah semakin kabur di tengah gerakan kapitalisme dan demokrasi ala Barat. Kita bahkan menjadi budak di negeri sendiri dan hanya bisa diam menerima fakta bahwa kekayaan-kekayaan alam kita suah berpindah tangan ke negara-negara adikuasa tanpa mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat kecil (marhaen).

 Sekaranglah saat yang tepat bagi Indonesia untuk mulai kembali lagi pada nilai-nilai dasar Pancasila dan TRISAKTI seperti yang disampaikan Bung Karno. Memang tidak semuanya dapat dijalankan menuruti saja apa yang beliau ciptakan, tapi juga dengan penyesuaian berdasarkan kondisi actual saat ini. Yang terpenting adalah memegang teguh cita-cita bangsa untuk  mencapai kesejahteraan sosial. Diperlukan pemimpin yang dapat menjadi penyambung lidah rakyat dan memiliki keberpihakan terhadap rakyat kecil. Jiwa emansipatoris Bung Karno dapat dijadikan teladan agar para pemimpin Indonesia kelak tidak hanya mampu membesarkan bangsanya tetapi juga mampu turut merasakan penderitaan rakyat.

Peran pemimpin sebagai solidarity maker juga sangat dibutuhkan untuk mempersatukan kekuatan rakyat di tengah keberagaman yang ada. Solidaritas yang terbangun antar latar belakang, suku, budaya, dan agama yang ada di Indonesia merupakan modal penting untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Kesadaran untuk bersama-sama dalam memenuhi tanggung jawab memajukan bangsa melalui solidaritas ini salah satunya dapat diwujudkan dengan pelaksanaan People, Public, Private Partnership di berbagai bidang.

Ideologi Marhainisme Soekarno

Karl Marx, Bung Karno dan Hugo Chavez :
Marxisme dan Kebhinekaan Tradisi Revolusioner


Ketika Bung Karno ‘memperkenalkan’ Marhaenisme sebagai ideologi PNI pada tanggal 4 Juli 1927, banyak orang yang ‘kebingungan’ atau bersikap sinis (kelompok nasionalis-borjuasi) dan mencibirnya (kelompok Marxist-Leninist).

Dan sebagian besar pengikutnya hanya sekedar ‘membebek’ secara ‘membabi-buta’ – hanya dengan menghafalkan definisinya saja, yaitu “Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi’ atau “Marxisme yang diterapkan dalam situasi dan kondisi Indonesia”. Ini fakta!

Dan itulah pula yang menjadi materi setiap kursus kader di GSNI, GMNI, Gerakan Pemuda Marhaenis, dll pada khususnya dan PNI/Front Marhaenis pada umumnya.

Kemudian -dalam era Pasca Gestok 1965- seorang ‘intelektual’ yang mantan anggota GMNI- malah pernah menulis bahwa Bung Karno hanya sekedar melakukan ‘copy – paste’ tulisan Karl  Marx dalam mendefiniskan Marhaenisme.

Sekitar 83 tahun setelah lahirnya Marhaenisme, majalah “Monthly Review” -majalah Sosialis Amerika Serikat terbitan Juli-Agustus 2010- mengulas tulisan seorang doktor Sosiologi -lulusan Universitas Sorbonne, Paris, Perancis-, yang berjudul “Latin America and Twety-First Century Socialism : Inventing to Avoid Mistakes”.

Inilah sepenggal kutipan dari artikel tersebut.

Pada umum kaum/golongan kiri terbiasa memahami sosialisme dalam pengertian yang diambil dari Revolusi Russia. Namun perkembangan terkini di Amerika Latin sungguh mengejutkan, bahkan membingungkan, karena mencerminkan kondisi revolusioner dan praktik sosialisme yang berbeda. Bagi mereka yang masih berorientasi kepada model-model lama, dan hanya melihat satu cara menuju sosialisme, maka apa yang terjadi di Amerika Latin akan dinilai bukanlah ‘jalan yang benar’ untuk melaksanakan perubahan menuju sosialisme. Kemenangan yang telah berhasil mengantarkan pemerintahan-pemerintahan revolusioner rakyat kepada kekuasaan diraih melalui pemilihan umum. Bukan perjuangan bersenjata.

Negara dan ekonomi tidaklah dikuasai secara menyeluruh. Peran instrumen politis-revolusioner (partai) sangat berbeda dengan cara yang lama. Dan pelaksanaan pembangunan sosialisme tidak menempuh cara perencanaan yang bersifat terpusat atau sentralistik -dari atas ke bawah- sebagaimana halnya perencanaan negara yang bersifat birokratik. Hal yang sangat mencengangkan,-mungkin-,adalah kenyataan bahwa revolusi tersebut tidak terlalu banyak diilhami oleh Marxisme, melainkan dibentuk oleh tradisi revolusioner penduduk asli Amerika Latin beberapa abad yang lampau. Dalam hal ini, Chavez memainkan peran yang sangat menonjol dalam mendefinisikan makna dan substansi Revolusi Bolivar.

Simon Bolivar memperoleh pemahaman tentang revolusi dari guru dan pembimbingnya, yaitu Simon Rodriguez dan Ezekiel Zamora yang merupakan pemimpin pemberontakan petani dalam perang pada tahun 1850-an dan 1860-an.

Dalam kritiknya -yang bernada negatif- terhadap ‘Sang Pembebas’,-yaitu Simon Bolivar-, dan Revolusi Bolivarian, kaum kiri menggunakan pemikiran Marx (berdasarkan sumber yang bersifat negatif).

Bagaimana mungkin Bolivarianisme Amerika Latin yang bersumber dari awal abad ke-19 mengkaitkan dengan perjuangan kaum Sosialis sekarang. Lalu, bagaimana kaum Marxis memandang Revolusi Bolivarian?

Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa munculnya Marxisme dalam abad ke-19 telah memberikan perangkat yang lengkap untuk melakukan analisis tentang perubahan revolusioner dalam masyarakat borjuis. Namun demikian, tidak jarang bahwa perangkat tersebut diubah menjadi ilmu pengetahuan tentang revolusi yang ‘mekanistik ‘atau ‘kaku’ yang diterapkan -secara doktriner- pada situasi yang sangat berbeda. Yang paling mencolok adalah cara memahami sejarah secara harafiah-kaku, sehingga perkembangan masyarakat seolah-olah ditakdirkan harus melalui tahapan dan jalan yang sama atau seragam. Hal ini mengakibatkan lahirnya Marxisme yang murni-doktriner.

Sangat penting untuk memahami bahwa Marx sendiri tidak pernah memandang analisisnya yang kritis dengan cara yang kaku atau doktriner. “Keberhasilan”, menurut Marx, “tidak pernah diraih dengan menggunakan ‘primbon’ teori historis-filosofis umum, yang hukum atau dalilnya bersifat supra-historis”. Menghadapi perkembangan gerakan revolusioner di Russia pada akhir masa hidupnya, Marx tidaklah berupaya untuk memaksakan ‘model yang siap-pakai’, melainkan berupaya memahami kondisi historis yang spesifik dan mempelajari bangsa serta  kultur dan bahasa Russia serta kerja warga Russia yang revolusioner.

Alhasil, dia mampu mengintegrasikan aspek-aspek tradisi revolusioner yang beraneka-ragam ke dalam analisisnya yang responsif terhadap kondisi dan perjuangan Russia. Dengan demikian, dia dapat memahami lahirnya/timbulnya  berbagai perbedaan -bahkan yang bersifat diametrik- dengan pengikutnya (kaum Marxist) di Russia saat itu.

Semua orang memiliki karakteristiknya sendiri dalam tradisi revolusioner yang beraneka-ragam yang bersumber dari pengalaman masa lalunya. Hal ini mencerminkan kekhasan sejarah dan budaya, bahkan mencerminkan pula kegagalan dan persoalannya yang tak terselesaikan. Tidak disangsikan lagi bahwa beberapa warisan historisnya terhitung sudah kuno. Namun seringkali, hal tersebut mencerminkan solusi yang radikal yang ternyata mendahului zamannya.

Sejarah -pada hakekatnya- merupakan sebuah proses revolusioner. Pada bagian akhir dari “Open Veins of Latin America”, Eduardo Galeano menyatakan: “semua ingatan bersifat menentang atau melawan, karena memang berbeda, dengan demikian pula halnya dengan program (apapun) untuk masa depan”.

Dengan demikian, hubungan (kaitan) Marxisme dengan tradisi revolusioner yang beraneka-ragam bersifat kompleks. Sebagaimana dinyatakan oleh Teodor Shanin pada 1983, dalam “Marx dan Jalan Russia”,-sekitar abad pertama Marxisme-, bahwa bentuk yang paling murni dari “sosialisme ilmiah”,-yaitu semua yang bersifat turunan dari induknya-, secara politis terbukti selalu bersifat lemah dan tidak efektif. Demikian pula halnya dengan bentuk asli ‘jargon’ sosialisme revolusioner yang ternyata juga berakhir dengan kegagalan. Pengintegrasian Marxisme dengan tradisi politik asli (lokal) ternyata mampu mendasari semua sikap dan tindakan yang ditumbuhkan secara internal dan yang secara politis efektif bagi proses transformasi revolusioner yang dilakukan oleh kaum sosialis. Polarisasi antara keberhasilan Lenin, Mao, Ho dan yang lain-lain di satu pihak dengan kegagalan Kautsky, Plekhanov atau Martov atau para Marxists Asia -antara lain Roy- merupakan bukti adanya kemiripan dengan perbedaan yang terjadi antar ‘kutub’ atau ‘kelompok’. Meski sulit memahami keberhasilan politis -dalam makna hanya pemikiran teoritis dari para penganutnya saja-, Marxisme telah mampu mewujudkan kekuatan yang spesifik dari upaya penyesuaiannya dengan keaneka-ragaman tradisional.

Dengan kalimat lain dapat dinyatakan bahwa keberhasilan tradisi revolusioner yang beranekaragam dicapai/diwujudkan melalui penerapan Marxisme. Penerapan tersebut merupakan upaya dalam hal menerapkan ilmu pengetahuan sesuai dengan problematika revolusi – serta problematika modal dan struktur penguasa dalam masa kini.

Catatan (HES) :
“penerapan Marxisme dalam situasi dan kondisi Indonesia”, kata Bung Karno.


Tanpa harus dikatakan, ternyata semua ‘keberhasilan’ revolusi yang telah disebutkan oleh Shanin ternyata menghadapi kesulitan yang serius. Sebagaimana yang dicatat, tahun 1989 ditandai dengan runtuhnya ‘sosialisme yang nyata-nyata ada’, yaitu arus besar pertama revolusi sosialis. Revolusi tersebut -yang di-demontrasikan oleh Uni Soviet- ternyata telah lama ‘takluk’ kepada berkecamuknya kontradiksi internal dan eksternal -yang sebelum keruntuhannya, dinilai sebagai model yang dapat diandalkan. Proses transformasi di Venezuela terjadi setelah terjadinya Caracazo 1989, oleh karena itu diilhami sepenuhnya oleh tradisi ‘jargon’ revolusioner. Hal ini membawa pemahaman bahwa sejak pada awalnya Marxisme memang memainkan peran sekunder.

Hal tersebut merupakan karakteristik atau keunikan proses revolusioner di Amerika Latin. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Marta Harnecker pada tahun 2003, hal ini dapat disebut sebagai “a sui generis revolution” atau revolusi yang unik (unique or occupying a class of its own) – bukan jiplakan.

Pemikiran Bung Karno tentang Marhaenisme terbukti benar dan tepat.
Dan orisinil.


John Bellamy Foster on Venezuela:
Marxism and `vernacular revolutionary traditions’
By John Bellamy Foster
http://links.org.au/node/1788